Tujuan PMII

Tujuan PMII
Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Sabtu, 19 Juni 2010

PMII dan Media


Dunia pers Indonesia tak akan bisa melupakan nama Mahbub Djunaidi yang pernah tiga kali memimpin organisasi kewartawanan, PWI, Mahbub juga dikenal sebagai pemikir NU

Ia lahir di Jakarta, 27 juli 1933, anak pasangan dari H. Djunaidi dan Ibu Muchsinati. Ayahnya sebagai Kepala Biro Peradilan Agama pada Kementerian Agama yang setiap awal ramadhan dan malam idul fitri mengumumkan hasil rukyah melalui radio. Mahbub Djunaidi, sebagaimana anak-anak Indonesia pada umumnya di zaman revolusi kemerdekaan, usia sekolahnya panjang. Dia baru duduk dikelas satu SMP menginjak usia 16 tahun, saat seharusnya menyelesaikan sekolah pertama. Usia 16 tahun itu bersamaan dengan waktu pemulihan kedaulatan RI dari Belanda tahun 1949.

Menginjak usia remaja, Mahbub Djunaidi bergabung ke dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi kader partai NU (saat itu), selagi masih duduk di SMA. Dia hadir di kongres pertama IPNU di Malang 1955 yang dibuka oleh Presiden RI Sukarno, di saat negeri ini beberapa bulan lagi akan menyelenggarakan pemungutan suara pemilu pertama.

Gerakan Mahasiswa
Mahbub mulai menulis waktu SMP dan waktu di SMA tulisan-tulisannya sudah dimuat di majalah-majalah bergengsi waktu itu, seperti Siasat (sajak), Mimbar Indonesia (esai), Kisah, Roman, Star Weekly, Tjinta (cerita pendek). Ia terjun ke dunia jurnalistik pada tahun 1958 mengisi harian duta masyarakat yang kemudian ia menjadi Pemimpin Redaksinya pada tahun 1960-1970.

Di tengah memimpin Duta Masyarakat sebagai corong partai warga nahdlyyin-saat itu-, ia juga berhasil mendeklarasikan organisasi mahasiswa NU yang berafiliasi ke partai NU (waktu itu) yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada tahun 1960. Ia sendiri sebagai ketua umum pertama selama dua periode. Sekarang organisasi ini menjadi besar dan tumpuan mahasiswa yang berbasis nahdliyyin. Pendek kata, dimana ada cabang NU, disitu ada PMIInya, karena pernah menjadi anak kandung saat NU jadi partai politik.

Sebagai sebuah organisasi kader partai yang tergolong besar, tidak bisa lain dia juga harus seorang pendidik. Pada tahun 1961, melalui kongres pertama PMII dilahirkan pokok-pokok pikiran yang diwadahi dalam apa yang disebut “deklarasi tawangmangu”. Deklarasi tersebut isinya meliputi pandangan tentang dan sikap terhadap sosialisme Indoensia, pendidikan nasional, kebudayaan nasional dan lain-lain. Deklarasi tawangmangu merupakan refleksi PMII terhadap isu nasional pada saat itu.

Mahbub berusaha dengan sungguh penuh agresif menjadikan PMII sebagai wadah pembentukan kader, sebagaimana diamanatkan kepadanya oleh musyawarah mahasiswa NU seluruh Indonesia. salah satu cara membentuk jiwa dan menempa semangat kader adalah melalui lagu-lagu mars PMII, lagu yang di nyanyikan setiap saat akan acara penting PMII sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Sehingga tidaklah berlebihan kantor PB PMII, Bangunan seluas 400 meter persegi yang beralamat di Jl Salemba Tengah 57A Jakarta Pusat bernama “Graha Mahbub Djunaidi”. Pemberian nama Graha Mahbub Djunaidi tersebut merupakan penghormatan kepada Ketua Umum PMII pertama yang menjabat selama dua periode pada tahun 1960-1963 dan 1963-1966, kata Malik Haramain, Ketua Umum PB PMII tahun 2003-2005 saat peresmian kantor tersebut.

Setelah aktif sebagai Ketua Umum PMII, Mahbub kemudian diminta pula membantu pengembangan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Ia sempat duduk sebagai salah satu ketua pimpinan pusat organisasi kader NU untuk kalangan pemuda tersebut. untuk organisasi inipun, Mahbub menulis lirik lagu marsnya yang tetap di gunakan sampai sekarang.

Setelah dirasa cukup membantu pada organisasi kader muda NU, akhirnya ia di tarik ke rahim NU-nya yaitu sebagai Wakil Sekjend PBNU (1970-1979) dan Wakil Ketua PBNU mulai tahun 1984-1989.

Setelah terjadi pasifikasi politik NU pada muktamar di Situbondo, Jawa Timur tahun 1984 dengan jargon kembali ke khittah 1926, Mahbub pun mempunyai penafsiran sendiri tentang hal itu. Ia memperkenalkan menggagas istilah “khittah plus”. Menurutnya, kembali ke khittah 1926 bukanlah merupakan perwujudan dari sebuah perjuangan. Pendek kata, Mahbub menginginkan NU kembali berpolitik praktis sebagai wadah aspirasinya, mengingat NU –waktu itu- selalu dipinggirkan.

Pena Sebagi Teman Karib Dan Politikus
Selama sepuluh tahun memimpin media harian Duta Masyarakat sebagai corong partai NU -saat itu-, tulisan-tulisan Mahbub yang menggelitik mulai di kenal oleh wartawan-wartawan senior dan media-media baik cetak maupun eletronek. Lambat laun tapi pasti, ia terpilih sebagai Ketua PWI periode 1965, 1968, dan 1970 ini dikenal sebagai sosok yang prigel, luwes, dan profilik dalam menuangkan gagasan-gagasannya lewat tulisan. Mahbub Djunaidi dikenal sebagai penulis dengan gaya bahasa yang lugas, sederhana, dan humoris.

Bagi dunia pers, nama Mahbub Djunaidi bukanlah nama yang asing lagi. Sebagai seorang wartawan, Mahbub adalah wartawan pemikir yang cerdas dan "kental", namun juga jenaka dan penuh kejutan-kejutan dalam setiap tulisannya. Dalam istilah sekarang, ia adalah seorang yang humanis dan moderat.

Menurut Jakob Oetama, Pendiri dan Pemimpin Umum harian KOMPAS yang kenal secara pribadi, mengamati Mahbub mencapai formatnya yang optimal sebagai wartawan, justru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta Masyarakat dan sebagai aktivis partai atau keorganisasian lainnya.

Mahbub menulis untuk rubrik Asal-Usul tiap hari minggu di harian Kompas selama 9 tahun tanpa jedah, sambil masih juga diminta penerbitan pers lainnya menulis topik-topik tertentu seperti Tempo, Pelita dan lain-lain. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul telah diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Di situ dia justru menjadi besar. Sebagai politikus, wartawan dan sastrawan, sosok pemikirannya tampil.

Sosok Mahbub Djunaidi, masih menurut Jakob, mempunyai gaya keunikan tersendiri dalam tulisannya. Ia seakan bersaksi dalam buku “Mahbub Djunaidi, Seniman Politik Dari Kalangan NU Modern”. Menurutnya, kalau kebanyakan penulis adalah menganalisa suatu masalah dan baru menjelaskan ide-nya, maka Mahbub tidaklah demikian. Baginya, suatu peristiwa, kejadian, atau sosok orang bisa dijadikan alat untuk menjelaskan ide-idenya.

Dunia politik pun tak lepas dari hari-hari Mahbub Djunaidi. Ketika NU berafiliasi ke PPP, Mahbub Djunaidi menduduki jabatan sebagai salah seorang wakil ketua DPP PPP dan kemudian di Majelis Pertimbangan Partai (MPP).

Bela Wartawan
Tapi, sebelum itu, Mahbub juga pernah menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Nah, dalam posisi inilah naluri kewartawanannya muncul. Ia mengetuai pansus penyusunan RUU tentang ketentuan pokok pers. Dalam tim pansus tersebut ia dibantu oleh Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto Martoprasonto, dan Said Budairi. Sebagai seorang politikus, ia tetap memikirkan nasib pers di Indonesia. Hal ini diwujudkannya melalui penyusunan perundang-undangan pers semasa almarhum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) tahun 1965.

Sebagai jurnalis, penulis dan sastrawan, Mahbub telah meraih prestasi yang sangat baik. Tulisanya sebagai Pemred Duta Masyarakat telah menunjukkan benang merah dari gagasan dan pikirannya mengenai berbagai masalah yang dihadapi bangsa kita. Perjalanan panjang dalm organisasi di lingkungan NU dapat menjadi bukti dari pengabdiannya kepada masyarakat. Kiprahnya sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dapat dari petunjuk dari pengabdiannya dalam mengembangkan kehidupan pers nasional.

Tulisannya sebagai sastrawan telah menununjukkan keragaman kemampuan yang dimilikinya dengan meraih penghargaan sastra tingkat nasional. Kolom “Asal Usul” yang dimuat secara tetap di tiap hari minggu harian Kompas selama jangka waktu yang cukup lama menunjukkan kemampuan Mahbub dalam menulis dan daya pikat tulisannya terhadap masyarakat. Gaya tulisannya sekarang banyak ditiru oleh penulis Indonesia.

Terlepas dari plus-minusnya selama berinteraksi dengan koleganya semasa hidup, Mahbub Djunaidi adalah manusia biasa. Manusia adalah makhluk yang punyak banyak kesalahan dan kelemahan. Kita menilai mereka tidak semata-mata sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai manusia.

Yang pasti Mahbub Djunaidi adalah tokoh nasional yang bersahaja, seorang jenius yang berkarakter mengamati perkembangan hidup melalui tulisan-tulisannya, penggerak organisasi dan seniman politik yang dimiliki oleh NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sementara Mahbub Djunaidi meninggal dunia pada tahun 1995 di usia 62 tahun, usia yang masih cukup untuk beraktivitas dan berjuang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar