Tujuan PMII

Tujuan PMII
Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Kamis, 23 Desember 2010

Kekuatan Tradisi Menjadi Benteng Budaya


Kamis, 23 Desember 2010 20:09
Jakarta, NU Online
Pemahaman tradisi yang kuat yang dimiliki oleh para pendiri bangsa telah mampu menjadi benteng terhadap pengaruh luar dan menjadi tonggak dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada masa kolonial, anak-anak muda disekolahkan ke Belanda untuk tujuan pencucian otak dan mendapatkan tenaga ahli dengan bayaran murah. Akan tetapi, ketika kembali ke Indonesia, mereka tidak menjadi antek Belanda, malah menjadi pejuang.

“Para tokoh tersebut mampu merekonstruksi ulang dan menyesuaikannya dengan kondisi Indonesia,” kata Ketua Lesbumi NU Sastro Al Ngatawi dalam Refleksi Akhir Tahun Kebudayaan Indonesia yang diselenggarakan oleh DPP PKB, Kamis (23/12).

Ini tak hanya dialami oleh para tokoh yang belajar di Barat seperti Cokroaminoto, tetapi juga tokoh yang belajar di Arab seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Yusuf Al Makassari dan lainnya.

Situasi sekarang berbeda sekali ketika banyak intelektual yang mencopy ide dari luar, padahal Indonesia sudah memahaminya sejak lama, seperti tradisi multikulturalisme, yang diimpor dari Barat, padahal Indonesia sudah memiliki tradisi tersebut sejak seribu tahun yang lalu ketika agama yang satu dengan yang lain saling menghargai.

Situasi karut-marut di Indonesia salah satunya disebabkan antara fondasi sosial dan bangunan yang tidak seiring. “Fondasi sosial kita agraris, tradisional dan agamis, sementara kita sekarang dibangun berbasis modern, positivis dan rasional sehingga tidak klop,” terangnya.

Karena itu, untuk mengembalikan Indonesia dalam sebuah harmoni, perlu melakukan rekayasa ulang dengan berbasiskan pada tradisi serta sejarah yang ada.

Menurutnya posisi Indonesia saat ini sudah seperti cermin yang retak, untungnya masih ada Pancasila dan NKRI yang mampu menyatukannya dalam bingkai keindonesiaan.

Komitmen Negara Terhadap Petani Lemah


Kamis, 23 Desember 2010 21:14
Kediri, NU Online
Anggota Komisi III DPR RI, Eva Sundari menilai Negara tidak memiliki komitmen serius untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Padahal, sumber kemiskinan dan sumber kesejahteraan itu di pertanian. Kalau kemudian pertanian tidak diberdayakan, implikasinya kemiskinan semakin meningkat dan kesejahteraan tidak merata.

Rendahnya komitmen Negara tersirat dari sejumlah undang-undang yang tidak memihak para petani. “Ada sekitar 23 undang-undang yang berkaitan dengan pertanian justru memperkuat perusahaan-perusahaan, bukan petani gurem,” kata Eva Sundari dalam jumpa pers usai mengisi seminar bertajuk “Jagong Tani dan Deklarasi Serikat Buruh Kediri” di kompleks Aula Muktamar Lirboyo, Kediri, Kamis, 23 Desember 2010.

Bukti ketidakseriusan pemerintah dalam memberdayakan petani juga tersirat dari alokasi dana dari APBN untuk sektor pertanian. “Saat ini, dari seluruh APBN itu alokasi terbesarnya untuk industri, sementara petani hanya rangking delapan. Ya, tidak akan banyak berhasil.  Karena duit yang ditanam kurang, sehingga yang dikembalikan kepada Negara juga kurang, karena produktifitasnya rendah. Kalau ada alokasi anggaran dari APBN yang cukup, maka akan memberikan value edit balik yang cukup,” katanya kepada kontributor NU Online Chairul Anam.

Yang menyedihkan, lanjut Eva, duit yang paling sedikit alokasinya itu tempat untuk mencari hidup orang banyak. Indonesia adalah Negara agraris, tapi investasi tidak diberikan cukup bagi petani untuk penguatan pertanian, kedaulatan petani, meningkatkan daya tawar petani, itu tidak menjadi konsen utama. Negara terjebak dalam cara-cara yang instan. Negara lebih fokus kepada bagaimana mencari investasi, melayani rensiker para investor, dan mengambil uangnya.

“Jadi, pertumbuhan ekonomi itu didukung bukan karena sektor produktif, tapi lebih karena spekulan-spekulan. Di sektor-sektor yang spekulasinya tinggi. Alhasil, kenapa kemudian indeks kesejahteraan petani terus mengalami penurunan, ya karena Negara tidak adil pada petani,” kata Eva. Karena itu, ia berharap organisasi Serikat Buruh Indonesia segera mengkonsolidasikan dengan pihak-pihak terkait dan menganalisa undang-undang yang merugikan petani.

Sementara itu, Sekertaris Jendral Aliansi Petani Indonesia (API), M. Nuruddin mengatakan, sejauh ini API sudah menggelar sejumlah program penting untuk pemberdayaan pertanian. Antara lain, pendidikan dan pemberdayaan, penyelesaian konflik agraria, pengembangan teknologi tepat guna, dan pengembangan akses tani dan usaha.

Nurudin juga menyatakan akan menggandeng NU dan pesantren untuk memberdayakan petani. “Kita akan mengajak NU, pesantren, dan seluruh organisasi pertanian untuk bersatu menegakkan keadilan dan memberdayakan petani. Dengan demikian, petani diharapkan kelak petani memiliki daya tawar tinggi. Sebab, selama ini petani hanya dijadikan obyek, bukan subyek,” katanya. 

Perlu diketahui, seminar Jagong Tani dan Deklarasi Serikat Buruh Kediri, selain dihadiri Anggota DPR RI Komisi III, Eva Sundari, DPD Jawa Timur, Ir. Supartono, para petani, juga santri-santri dari pelbagai utusan pesantren.

Rabu, 10 November 2010

Gelar Pahlawan Gus Dur Belum Turun

SURABAYA, KOMPAS.com — Penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden ke-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang diperkirakan jatuh pada Hari Pahlawan, 10 November 2010, ini belum terlaksana. Hingga saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum menerima surat jawaban dari Kementerian Sosial. "Surat pengajuan gelar pahlawan nasional sudah kami kirim dobel, baik ke Kementerian Sosial (Kemsos) maupun ke Presiden. Syarat-syarat juga sudah kami lengkapi semua," kata Gubernur Jatim, Soekarwo, Rabu (10/11/2010), setelah mengikuti Upacara Peringatan Hari Pahlawan di Gedung Grahadi, Surabaya.
Soekarwo mengirimkan surat usulan penganugerahan gelar pahlawan nasional atas Gus Dur kepada Menteri Sosial Salim Segaf Al'Jufrie tanggal 5 Januari 2010. Surat tersebut berisi empat syarat pengusulan calon pahlawan, yaitu daftar riwayat hidup dan perjuangan, daftar bukti tanda kehormatan, catatan pandangan atau pendapat orang/tokoh masyarakat terhadap calon pahlawan, serta foto-foto dokumentasi calon pahlawan.
Akhir Januari 2010, Badan Pembina Pahlawan Daerah Jatim kembali melengkapi satu syarat lagi, yaitu makalah tentang Gus Dur. Dengan terpenuhinya satu syarat ini, persyaratan administratif terkait penganugerahan gelar pahlawan nasional pada Gus Dur lengkap.
Karena itu, tepat pada peringatan Hari Pahlawan 10 November ini diharapkan Gus Dur resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Jika usulan tersebut diterima, Gus Dur akan menjadi pahlawan nasional ke-148. Sebelumnya, tanggal 11 November 2009, satu tokoh perjuangan Jatim, yaitu Bung Tomo, telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional ke-147.
Terus mendorong
Menurut Soekarwo, Pemprov Jatim akan terus mendesak Kemsos agar segera memberi kepastian terkait pengajuan gelar pahlawan nasional untuk Gus Dur. "Kami mendesak terus agar keputusan penetapan segera turun. Biasanya, saat peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus juga ada kesempatan penganugerahan gelar pahlawan nasional," ujarnya.

Jumat, 29 Oktober 2010

Peringatan Hari Sumpah Pemuda

Mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Subang melakukan aksi peringatan Hari Sumpah Pemuda di jalur pantura Pamanukan, Subang dengan menggelar aksi solidaritas untuk korban bencana alam di Mentawai dan Yogjakarta, di bawah fly over (jembatan layang) Pamanukan, Subang (28/10/2010).
” Disini kita perlu berbagi. Apa yang tengah dialami korban bencana alam di Mentawai dan Jogjakarta, kami disini juga ikut merasakan. Karena kita terikat dalam bingkai NKRI. Suka duka harus bersatu,” ujar Ketua Umum PMII Subang, Faturahman.
Selain itu, menurut Ade Mahmudin selaku Koordinator Lapangan (Korlap) dalam aksi tersebut menuturkan dalam orasinya tentang keprihatinan kaum muda Indonesia saat ini yang kurang begitu memahami substansi dari Hari Sumpah Pemuda dan merevitalisasi Pemerintah Indononesia yang dinilainya kurang memperhatikan nasib rakyat Indonesia yang tiada henti-hentinya berada dalam penderitaan: "Kami sangat prihatin sekali dengan keberadaan anak-anak muda zaman sekarang yang kurang faham dengan adanya peringatan hari sumpah pemuda. padahal kalau mereka memahaminya eksistensi seorang pemuda adalah sebagai titik awal perjuangan Rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari belenggu imperialisme penjajah. Terlebih, sangat ironis sekali ketika Rakyat menangis merasakan penderitaan akibat bencana alam dan sebagainya, jajaran Pemerintahan Indonesia justru menyibukan dirinya dengan mengurus birokrasi  yang tidak jelas dan membangun citranya sendiri. mana hati nurani mereka?" Demikian diungkapkan ade. 
Dana yang terkumpul dalam aksi solidaritas ini akan langsung diberikan kepada para korban mentawai dan jogja melalui pengurus PMII Cabang Sumatera Barat dan Jogjakarta.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Bermimpi Indonesia Merdeka dari Utang


Ketergantungan pada utang luar negeri dan intervensi asing membelenggu Indonesia untuk bisa membuat lompatan-lompatan jauh ke depan dalam perbaikan ekonomi. Benarkah Indonesia sekarang ini mengalami apa yang disebut sebagai Fisher’s Paradox?
Mengapa semakin besar utang luar negeri yang dibayar, semakin besar akumulasi utang? Benarkah kita sudah merdeka secara ekonomi?
Seorang panelis pada Diskusi ”Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030” pekan lalu mengatakan, sampai sekarang ia tidak melihat ada keinginan dan komitmen jelas dari pemerintah untuk menghentikan ketergantungan pada utang atau keluar dari jerat utang.
Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya langkah signifikan yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi beban utang luar negeri. Mulai dari langkah moderat dengan menolak utang baru hingga langkah paling radikal meminta penghapusan utang, atau bahkan melakukan pembangkangan dengan mengemplang utang karena sebagian utang luar negeri yang ada saat ini dianggap sebagai utang najis (odious debt).
Alih-alih meminta penghapusan utang, sekadar mempercepat pelunasan utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) pun pemerintah terkesan berat hati. Tahun lalu, keberatan untuk mempercepat pelunasan utang kepada IMF dikemukakan antara lain oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah.
Menurut Gubernur BI, meskipun tidak dapat digunakan, dana IMF yang masih tersisa sebesar 7,8 miliar dollar AS bisa diputar oleh BI untuk menambah penghasilan pemerintah.
Tahun ini, setelah IMF menaikkan suku bunga pinjaman dari 3,5 menjadi 4,5 persen, keberatan untuk mempercepat pelunasan utang IMF disuarakan langsung oleh pejabat Departemen Keuangan. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia P Nasution mengatakan pelunasan utang kepada IMF dapat memancing para spekulan untuk menarik dana mereka dari Indonesia.
Sikap ini dinilai sebagai upaya mempertahankan intervensi IMF di negeri ini. Sikap pemerintah yang menolak anjuran Koalisi Anti-Utang agar menghapuskan utang lama dan menolak utang baru juga sangat bertolak belakang dengan kecenderungan internasional yang semakin kritis terhadap utang. Kritik tidak hanya muncul berkaitan dengan efektivitas utang itu sendiri, tetapi juga sisi kelembagaannya, sisi ideologi, serta implikasi sosial politiknya.
Dari efektivitas, secara internal utang luar negeri tidak hanya menghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara pengutang. Utang juga mengakibatkan kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi (Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick, 1997; Todaro, 1987).
Secara eksternal, utang luar negeri juga meningkatkan ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan juga pada tradisi pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas, 1998).
Dari sisi kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri, seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sendiri dinilai tidak transparan dan tidak akuntabel. Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan negara-negara negara-negara maju pemegang saham utama lembaga-lembaga tersebut, untuk mengintervensi negara-negara pengutang (Rich, 1999; Stiglitz, 2002; Pincus dan Winters, 2004).
Dari sisi ideologi, utang luar negeri dituding telah dipakai oleh negara-negara kreditor, terutama AS, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke seluruh penjuru dunia dan ”menguras dunia” (Erlerm, 1989). Dari sisi implikasi sosial politik, utang luar negeri dicurigai sengaja dikembangkan oleh negara-negara kreditor untuk mengintervensi negara-negara pengutang.
Secara tidak langsung, utang dianggap juga bertanggung jawab atas lahirnya rezim-rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi, perdagangan obat-obatan terlarang, serta terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987; George, 1992; Hanton, 2000).
Masalah utang luar negeri sebenarnya bukan masalah baru bagi Indonesia, karena Indonesia sudah menjadi pelanggan utang, bahkan sebelum merdeka. Tetapi, utang baru menjadi masalah serius setelah terjadi transfer negatif bersih (utang yang diterima lebih besar dibandingkan cicilan pokok dan bunga utang yang harus dibayar setiap tahun) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun anggaran 1984/1985.
Tahun 1950, utang pemerintah tercatat 7,8 miliar dollar AS, terdiri dari utang warisan Hindia Belanda 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 3,8 miliar dollar AS.
Pada awal kemerdekaan, sikap Soekarno-Hatta sebagai Bapak Pendiri Bangsa cenderung mendua. Di satu sisi, mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, mereka mewaspadai kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana untuk mencederai kedaulatan Indonesia sehingga mereka cenderung menetapkan persyaratan cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
Syarat tersebut, negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, dan suku bunga tidak lebih dari 3-3,5 persen per tahun. Selain itu, jangka waktu utang cukup lama, untuk keperluan industri 10-20 tahun dan untuk pembangunan infrastruktur lebih lama lagi (Hatta, 1970).
Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Sikap ini pula yang membuat Soekarno waktu itu dengan gagah, berani mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.



Pemutus lingkaran setan?
Pasca-Soekarno, utang mengalami pembengkakan secara dramatis. Orde Baru, dipelopori oleh kelompok orang-orang terbaik yang disebut Mafia Berkeley, menganggap utang luar negeri sebagai salah satu langkah tepat untuk memutus lingkaran setan kemiskinan melalui pembangunan besar-besaran (the big push theory), yang di antaranya dibiayai dengan utang.
Total utang yang pada akhir era Soekarno baru sebesar 6,3 miliar dollar AS (terdiri dari 4 miliar dollar AS warisan Hindia Belanda dan 2,3 miliar dollar AS utang baru) membengkak menjadi 54 miliar dollar AS pada akhir pemerintahan Soeharto.
Selama dua tahun era BJ Habibie, utang bertambah lagi 23 miliar dollar AS menjadi 77 miliar dollar AS. Sekarang ini total utang luar negeri sekitar 78 miliar dollar AS. Ditambah utang dalam negeri, pada pascakrisis 1997, total utang Indonesia pernah mencapai sekitar Rp 2.100 triliun.
Dengan total utang Rp 1.318 triliun dan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa sekarang ini, setiap penduduk Indonesia (termasuk bayi baru lahir) terbebani utang sekitar Rp 7 juta.
Sementara kekayaan alam dan kemandirian serta kapasitas kita untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terus tersandera oleh beban membayar cicilan dan bunga utang yang menyita hingga sepertiga sendiri anggaran belanja APBN. Posisi Utang Rp 1.318 ini terdiri dari Rp 636,6 triliun utang dalam negeri dan 76,6 miliar dollar AS utang luar negeri.
Hasil penelitian Reinhard, Rogoff, dan Savastano tahun 2003 (Almizan Ulva, 2004), batas aman rasio utang luar negeri (pemerintah dan swasta) terhadap PDB negara berkembang adalah 15-20 persen.
Apabila seluruh portofolio utang pemerintah dikonversi menjadi utang luar negeri, menurut Almizan Ulva—peneliti dari Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional Depkeu—rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB (tahun dasar 2000) pada 2004 adalah sebesar 52,2 persen. Tingginya angka ini menyebabkan risiko gagal bayar (default) Indonesia juga tinggi.
Sebenarnya utang luar negeri masih bisa diterima selama itu digunakan dengan baik untuk membangun ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta tidak mengakibatkan beban berlebihan pada keuangan negara dan tidak diembel-embeli dengan persyaratan yang memberatkan. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, utang banyak bocor sehingga sasaran yang ingin dituju melalui strategi big push theory juga tidak tercapai.
Prinsip gali lubang tutup lubang masih terjadi karena untuk membayar utang lama, pemerintah harus terus membuat utang baru. Akibat salah kelola utang, Indonesia dalam lingkaran setan perangkap utang (debt trap). Sebuah kajian independen Bank Dunia pernah menyebutkan, sekitar 30 persen utang luar negeri dikorupsi oleh rezim berkuasa pada era Soeharto sehingga kemudian muncul anggapan utang itu utang ”najis” yang tidak pantas dibayar.


Tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor juga diakui oleh AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis finansial. Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju.
Departemen Keuangan AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Ini bukan hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral, seperti dari Jepang, pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek. Melalui modus ini, selain bisa me-recycle ekses dana yang ada di dalam negerinya, Jepang sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana utang ini.ngutang
Dari pinjaman yang disalurkannya ini, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang. Dus Indonesia sebagai negara debitor justru menyubsidi negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.
Yang belum terlihat sampai sekarang memang keinginan atau komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk mengurangi utang. Memang benar banyak negara lain berutang. Bahkan, AS yang besar itu pun memiliki utang sangat besar. Tetapi, mereka memiliki kapasitas untuk membayar.
Seperti kata seorang panelis, kemandirian hanya bisa dibangun jika kita bisa menolong diri sendiri. Dalam kaitan dengan utang, mungkin menolong diri sendiri untuk keluar dari jebakan utang.
Hal ini terbuka untuk dilakukan dengan cadangan devisa yang kini sekitar 43 miliar dollar AS. Namun, tampaknya pemerintah tidak mengambil kesempatan itu, seperti juga mereka tidak pernah memaksimalkan diplomasi utang untuk mengurangi beban utang yang ada.
Untuk bisa menatap 2030 sebagai bangsa bermartabat dan berdaulat, tidak diintervensi kekuatan atau kepentingan luar, kita harus berani membebaskan diri dari utang yang bersamanya ada persyaratan yang mengikat kebebasan kita untuk mengatur ekonomi dalam negeri kita sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal dan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kalaupun tidak langkah drastis seperti mengemplang utang, setidaknya ada semacam konsensus nasional untuk menghentikan tradisi membuat utang baru. Visi soal utang dan kemandirian ekonomi ini yang belum ada sekarang ini.

Sabtu, 25 September 2010

Presiden Pilihan Sejarah?





Majalah Time dalam edisi The Most Important People in the Century tahun 1998 menulis bahwa ”sejarah politik abad ke-20 dapat ditulis sebagai otobiografi enam orang: Lenin, Stalin, Hitler, Mao Zedong, Franklin Roosevelt, dan Winston Churchill”.

Di persimpangan jalan sejarah yang krusial, nasib bangsa-bangsa sering terkait sangat erat dengan orang-orang tertentu. Individu-individu ini seolah dipilih oleh sejarah untuk mengemban suatu misi besar. Keputusan moral dan pilihan politik mereka untuk menjawab tantangan sejarah ini menentukan dan mengubah nasib bangsanya untuk selama-lamanya.

Afrika Selatan dan Mandela adalah contoh yang baik untuk era akhir abad ke-20. Runtuhnya rezim apartheid melontarkan Mandela ke tampuk pimpinan Afrika Selatan dan langsung menghadapkannya pada pilihan pelik, yakni mengikuti semangat membalas dendam atas ketidakmanusiawian rezim masa lalu terhadap warga kulit hitam atau rekonsiliasi yang sangat tidak populer. Mandela memilih rekonsiliasi.

Afrika Selatan yang dikhawatirkan akan banjir darah menyusul runtuhnya rezim kulit putih justru langsung masuk jalur cepat demokrasi dan martabatnya melambung dalam pergaulan antarbangsa sebagai negara beradab. Bahkan, tahun depan Afrika Selatan sudah mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia. Contoh lain dengan skala dan kerumitan pilihan moral dan keputusan politik yang berbeda kita temukan sepanjang sejarah. Para pemimpin besar seperti Mandela sepenuhnya sadar bahwa, meminjam kalimat mantan Presiden Perancis Charles de Gaulle: to govern is to choose among disadvantages; minus malum; memilih di antara pilihan-pilihan yang sulit; memilih yang paling kurang buruk.

Sejarah memilih mereka untuk mengemban misi besar dan mereka menjawabnya dengan keputusan moral yang benar dan pilihan politik yang tepat dan, kadang, berani. Keberhasilan mereka membuat nama mereka selalu dikenang oleh bangsanya dan terukir dalam sejarah dunia. Mereka bukan lagi sekadar presiden, tetapi juga pemimpin besar.

Indonesia hari ini berada di persimpangan jalan sejarah yang sangat penting. Arah pertama akan membawa kita kembali ke republik masa lalu, sementara arah kedua mengantar kita kepada Indonesia masa depan; yang pertama jalan memutar kembali ke praktik sosial-politik yang korup dan yang kedua adalah jalan lurus menuju politik yang bersih serta tata kelola pemerintahan yang efisien dan akuntabel; jalan pertama menuju stagnasi sosial-politik dan keterpurukan, jalan kedua menuju Indonesia yang adil dan sejahtera serta bermartabat dalam pergaulan bangsa-bangsa.

Walaupun jalan mana yang seharusnya ditempuh tampak jelas, sama sekali tidak berarti mudah untuk menempuhnya. Realitas sosial-politik Indonesia hari ini berada di antara tarik-menarik antara kekuatan reformasi dan kekuatan reformasi tandingan. Adam Michnik, tokoh intelektual gerakan Solidarnosc (Solidarity) Polandia, membedakan antara kontrareformasi dan reformasi tandingan. Mereka yang kontrareformasi jelas-jelas anti atau menentang reformasi.

Tak banyak di Indonesia hari ini yang mendeklarasikan diri antireformasi. Mereka telah melakukan metamorfosis menjadi reformis, atau persisnya reformis tandingan. Reformis tandingan berkepentingan terhadap berlakunya business as usual. Mereka menggunakan bahasa reformasi, prosedur hukum, dan legislasi yang ada untuk memastikan bahwa kepentingan ekonomi, sosial, dan politik mereka tetap terjamin. Mereka ada di mana-mana dan dengan sangat aktif memengaruhi proses politik, legislasi, dan birokrasi.

Tarik ulur dalam masalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya satu contoh dari berbagai reformasi tandingan yang sedang berlangsung di negeri ini. Oleh karena itulah memilih jalan lurus reformasi akan berbenturan dengan mereka dan mengandung risiko-risiko politik, hukum, dan birokrasi yang nyata.

Saatnya memilih bagi SBY

Apakah SBY telah dipilih oleh sejarah untuk mengemban misi besar menuntaskan reformasi dan selamanya meletakkan Indonesia pada jalur kesejahteraan dan kemajuan? Pertanyaan ini tak bisa dijawab apriori terhadap apa yang akan dilakukannya. Namun, SBY berada dalam posisi yang unik yang tidak pernah dimiliki oleh presiden Indonesia lainnya: terpilih dalam pemilu presiden langsung dengan suara mayoritas yang sangat signifikan, dukungan legislatif yang besar, terutama melalui dominasi Partai Demokrat di DPR, dan termin kedua sebagai presiden yang membuatnya tidak perlu memikirkan ”basa-basi” politik agar terpilih kembali.

Tidak berlebihan bila dikatakan nasib Indonesia dan SBY pada saat ini berpilin sangat erat. Keputusan moral dan pilihan politik SBY akan menentukan perjalanan sejarah Indonesia. Reformasi politik, hukum, dan birokrasi yang tuntas menjadi syarat bagi Indonesia masa depan. Ini adalah tantangan sejarah.

Rakyat Indonesia dengan harap-harap cemas menunggu SBY untuk menjawab tantangan ini dengan keputusan moral dan pilihan politik yang tepat. Keputusan dan pilihan ini menentukan seberapa cepat Indonesia menuju ke masa depan yang adil, sejahtera, dan bermartabat.

Pada gilirannya pilihan ini juga akan menentukan warisan apa yang akan ditinggalkan SBY: apakah sekadar menjadi presiden biasa saja ataukah seorang pemimpin besar yang akan dikenang sepanjang masa oleh bangsanya dan dunia.

Abdul Malik Gismar Anggota Staf Kemitraan untuk Pembaruan Tatakelola Pemerintahan
Kompas, Sabtu, 10 Oktober 2009 | 02:52 WIB

Masihkah NU Menjadi Jangkar?




Oleh Rumadi
Di sini mulai muncul paradoks; di satu sisi NU (setidaknya) di tingkat pusat selalu menegaskan komitmen kebangsaannya, di sisi lain NU juga membiarkan para kadernya melakukan aktivitas yang bisa mencederai paham kebangsaan yang dijunjung tinggi NU. Hal ini dapat dilihat sebagai titik balik semangat kebangsaan NU.

TAK ada yang menyangkal bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Pandangan-pandangan keagamaannya menjadi jangkar yang dapat mengokohkan berdirinya bangsa ini. Karena itu, tak berlebihan jika NU dalam sejarahnya yang panjang mampu memerankan diri sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan yang kokoh. Kekokohan visi kebangsaa itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 ketika NU menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah bentuk final. Ini sungguh kemajuan yang luar biasa, apalagi pandangan ini dirumuskan melalui perspektif fikih yang sebenarnya lebih dekat pada perjuangan negara Islam.

Kekokohan visi kebangsaan itu kembali ditegaskan pada 1992 ketika NU melakukan apel kesetiaan pada Pancasila. Bahkan dalam sebuah wawancara, KH. Abdurrahman Wahid yang waktu itu menjabat Ketua Umum Tanfidziyah PB NU menyatakan: “Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila dengan jiwa raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam” (Douglas E Ramage: 1994). Karena itu, komitmen kebangsaan NU yang paling utama adalah menjadikan Indonesia sebagai “rumah bersama” tanpa ada diskriminasi. Seluruh anggota keluarga berada dalam posisi yang setara dan berkeadilan. Dalam konteks ini, NU bisa dikatakan sebagai satu-satunya organisasi keagamaan dengan visi kebangsaan yang clear, jelas, dan tegas.

Saya sengaja mengangkat kembali masalah ini dalam pembicaraan tentang NU, karena belakangan NU mendapat kritik setidaknya dalam dua hal. Pertama, menyangkut paham kebangsaan, kedua, menyangkut resistensinya terhadap paham keagamaan yang dianggap “liberal”. Poros dari dua masalah tersebut adalah semakin mendekatnya NU dengan agenda gerakan Islam radikal.

Harus diakui, belakangan paham kebangsaan kita mengalami erosi yang mengkhawatirkan. Bangkitnya semangat etno-nasionalisme yang dipadu semangat Islamisme di berbagai daerah, sungguh merupakan erosi paham kebangsaan yang membahayakan. Tidak sedikit aktivis dan tokoh NU lokal yang menjadi pelopor paham Islamisme tersebut dengan mendorong pembuatan Peraturan Daerah (Perda) berbau-bau syariat. Tidak sedikit pula tokoh lokal NU yang terlibat dalam gerakan Islam radikal. Di sini mulai muncul paradoks; di satu sisi NU (setidaknya) di tingkat pusat selalu menegaskan komitmen kebangsaannya, di sisi lain NU juga membiarkan para kadernya melakukan aktivitas yang bisa mencederai paham kebangsaan yang dijunjung tinggi NU.

Hal ini dapat dilihat sebagai titik balik semangat kebangsaan NU. Kekokohan visi kebangsaan NU tampaknya hanya berada pada lapisan elit yang sangat tipis. Bukan hanya di tingkat wilayah, pada tingkat nasional pun ada kesan yang sama: NU semakin larut dalam agenda gerakan Islam radikal. Di tingkat pusat, keterpesonaan NU pada gerakan simbolisme Islam memang belum jelas betul meski lamat-lamat mulai nampak. Namun di tingkat daerah, hal ini jelas sekali kelihatan, terutama menyangkut agenda Perda bernuansa syariat.

Melihat fenomena tersebut, pelan tapi pasti, ada kesan keterlibatan NU, setidaknya di tingkat lokal, dalam gerakan mendominasi “rumah bersama” bernama Indonesia. Gerakan itu belakangan makin menguat seiring makin unjuk giginya kelompok Islam radikal-konsevatif. Anggota keluarga yang lain, meski tidak diusir, merasa tidak lagi nyaman tinggal di rumah itu. Tentu kita tidak ingin anggota keluarga itu minggat dan menimbulkan permusuhan satu atas yang lain. Pembiaran atas situasi demikian ibarat menyimpan bom waktu yang dapat meledak pada saat tertentu.

Ketika dikritik bahwa pendulum NU makin ke “kanan”, Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi, dengan enteng mejawab: “Belakangan muncul anggapan bahwa NU bergeser ke kanan, gara-gara RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Itu tidak benar. Bukan NU yang bergeser ke kanan. Itu karena NU terlalu lama nongkrong di kiri. Jadi ketika ditengahkan serasa bergeser ke kanan.” (www.nu.or.id). Ini sungguh retorika sangat canggih. Namun benarkah di situ letak masalahnya?

Menurut saya, masalahnya bukan NU berada di kiri atau di kanan, tapi bagaimana mampu menjaga segala kemungkinan yang mengancam keutuhan “rumah bersama”. Jangkar kebangsaan NU memang belum tercabut, namun saya melihat ada kekuatan yang coba menggoyang jangkar itu. NU seharusnya tetap setia menjaga Indonesia sebagai “rumah bersama”. Di sinilah jangkar NU harus ditancapkan kuat-kuat.

Masalah kedua adalah soal resistensi NU atas pemikiran keagamaan yang dianggap liberal. Dalam sebuah diskusi, saya pernah ditanya, apakah anak-anak muda NU yang mengusung pemikiran “liberal” masih bisa disebut sebagai bagian dari NU? Pertanyaan ini terkait dengan sejauhmana kelenturan ideologi Aswaja NU dalam menerima berbagai arus pemikiran. Banyak kalangan menganggap pikiran-pikiran yang dikembangkan sejumlah anak muda NU sudah keluar dari rel Aswaja. Karena itu, mereka sulit dikatakan sebagai bagian dari gerakan pemikiran NU.

Untuk menjawab masalah ini, pertama-tama harus dijawab, apa sebenarnya yang menentukan identitas ke-NU-an itu? Menurut saya, identitas ke-NU-an pertama-tama ditentukan oleh kultur, bukan aliran pemikiran yang distrukturkan. Hal ini bisa ditelusuri dari awal sejarah berdirinya NU. Sebelum didirikan pada 1926, NU pada awalnya adalah jamâ’ah, yaitu sekumpulan orang dan komunitas yang memiliki dan menjalankan kultur keagamaan tertentu. Baru kemudian kultur tersebut distrukturkan menjadi jam’iyyah, organisasi. Proses strukturisasi bukan hanya menyangkut penataan kelembagaan, tapi juga membingkai praktik-praktik kultural tersebut dalam rumusan-rumusan paham keagamaan. Hal itu berarti, identitas kultur dan perasaan menjadi bagian dari NU merupakan hal terdalam dari identitas ke-NU-an itu sendiri.

Proses strukturisasi kultural demikian, selalu membawa dampak ganda. Di satu sisi akan terjadi proses penguatan karena organ kultural yang berserakan bisa diorganisir menjadi sosok kuat, sehingga kultur akan tetap bertahan. Namun di sisi lain, bisa juga terjadi ketegangan karena struktur sering kali merasa berkuasa untuk mengatur kultur. Rumusan-rumusan paham keagamaan dalam struktur juga sering dianggap sebagai rumusan yang final dan selesai. Akibatnya, rumusan paham keagamaan itu digunakan untuk mengukur apakah seseorang masih dalam bingkai paham keagamaan yang diakui atau tidak.

Menstrukturkan paham keagamaan melalui lembaga menjadikan NU sulit untuk melakukan akselerasi. Doktrin juga menjadi kurang lentur dalam menghadapi perubahan. Akibatnya, NU bisa berubah menjadi baju yang sempit jika pengendali NU punya wawasan keagamaan yang “sempit”. Belakangan proses “penyempitan” itu begitu terasa, terutama ketika NU diperhadapkan dengan derasnya arus informasi ilmu pengetahuan yang memaksanya untuk meninjau ulang sejumlah doktrin keagamaannya.

Sampai di sini, saya ingin menegaskan, NU perlu menancapkan kembali jangkarnya, baik sebagai pengawal paham kebangsaan maupun pengembang wawasan keagamaan yang progresif-tranformatif. Baju ideologi NU, Aswaja, harus menjadi kekuatan dan inspirasi membangun semangat kebangsaan yang kokoh. Tanpa itu, bukan tidak mungkin NU tidak lagi menjadi jangkar bangsa.***

Penulis adalah peneliti The WAHID Institute, dan staf pengajar Fak. Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Jumat, 24 September 2010

Profil PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Sejarah
Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
  1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  3. Pisahnya NU dari Masyumi.
  4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
  5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi PMII
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.


Makna Filosofis
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.

Selasa, 24 Agustus 2010

Korps PMII Putri (KOPRI) Cabang Subang

Sebuah masa yang tak akan pernah terlupakan dalam sepak terjang sejarah KOPRI Cab. Subang. Pada tanggal 21-22 Agustus 2010 merupakan momentum yang tepat dalam mengiringi semangat sahabat-sahabat KOPRI Cab. Subang. Pada acara tersebut dihadirkan sosok pemateri Alumni PMII Cab. Ciputat Dra. Hj. Nisrina yang juga menjadi salah satu Mabincab PC PMII Subang. dengan semangat dan penuh loyalitas diantara sesama kader KOPRI mereka bersuka cita dalam hangatnya kerukunan di bulan suci ramadhan 1431 H yang juga diisi acara buka puasa bersama dan sahur bersama di Sekretariat/ Basecamp (Gubuk Intelektual) yang penuh dengan kesederhanaan itu.
 
Korps PMII Putri Cabang Subang merupakan lembaga semi otonom yang mewadahi kader-kader perempuan untuk mengeksplorasi & mengartikulasikan potensinya serta mampu memberikan kontribusi positif bagi perancangan dan pengambil kebijakan strategis pemberdayaan perempuan. Oleh karena itu, kegiatan strategis diarahkan untuk mengkaji secara mendalam  faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender terutama dalam berbagai bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di  masyarakat  luas.
Di samping itu, KOPRI Cabang Subang juga diharapkan mampu mendorong lahirnya pemikiran inovatif dan etika relasi sosial Islami yang sensitif gender dalam segala aspek dan bidang kehidupan, baik dilaksanakan  melalui affirmative program, koordinasi maupun evalusi terhadap efektivitas program yang telah direncanakan.

Pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, merupakan tanggung-jawab kita semua untuk mempercepat kemajuan dalam membangun kesejahteraan. Berbagai tantangan yang masih ada dan yang akan datang akan lebih mudah diatasi jika dilakukan bersama. Oleh karena itu  sumbangsih  dan peran semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, civitas akademika dan pihak swasta akan sangat berarti.

Tujuan KOPRI Cabang Subang adalah sebagai berikut:
  1. Mewujudkan peningkatan pemahaman dan kesadaran terhadap keadilan Gender dalam segala aspek kehidupan.
  2. Menggali dan mengembangkan konsep kemitrasejajaran dan keadilan Gender dalam perspektif Islam (Al-Qur'an dan Hadits)
  3. Membuat jaringan kerjasama berbagai instansi dalam rangka memotivasi terhadap kesadaran Gender dalam bidang peran publik, politik, domestik, ekonomi dan sosial.

Kegiatan yang dilaksanakan difokuskan pada:
  1. Meningkatkan kemampuan anggotanya dalam bidang Penelitian, Pelatihan dan Pengabdian kepada Masyarakat dengan cara mengadakan dan mengikutsertakan pada Pelatihan-Pelatihan, Lokakarya, Simposium dan berbagai Seminar Ilmiah yang berperspektif Gender (Islami).
  2. Melakukan kajian dan penelitian yang berperspektif Gender (Islami).
  3. Melakukan Pembinaan dan Penyuluhan kepada seluruh kader dan masyarakat terhadap berbagai persoalan yang terjadi ditengah masyarakat. Dan mengusahakan pembinaan kehidupan beragama.
Tetaplah semangat sahabat-sahabat KOPRI. Kab. Subang menunggu aksi kalian dalam rangka merekonstruksi gerakan-gerakan Perempuan di Kab. Subang Khususnya. semoga bermanfaat....

Sejarah KOPRI (Korps PMII Putri)

Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976.  Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri pada kongres IV PMII 1970. Kopri mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada kongres VII di Medan.

Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI dengan suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai maryati Shalihah.

Rabu, 18 Agustus 2010

ANALISA SOSIAL FOR BEGINNER


ANALISA SOSIAL FOR BEGINNER
Sebuah Pengantar Memahami Realitas Sosial2

STRUKTUR SOSIAL
Lebih dahulu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan struktur sosial. Kita ketahui, bahwa orang-orang yang hidup dalam masyarakat saling berinteraksi. Interaksi ini didasari dan terus diarahkan pada nilai-nilai kebersamaan, norma-norma yaitu standar tingkah laku yang mengatur ineraksi antar individu yang menunjukkan hak dan kewajiban tiap-tiap individu sebagai sarana penting agar tujuan bersama tercapai, dan akhirnya oleh sanksi, baik sanksi yang negatif dalam arti mendapat hukuman kalau melanggar norma maupun sangat positif yaitu mendapat penghargaan karena telah mentaati norma yang ada. Dasar dan arah umum interaksi inlah yang kita mengerti sebagai kultur.
Kecuali itu, interaksi antar individu juga diantur sesuai dengan tujuan-tujuan khusus interaksi itu. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi orang dalam hubungannya dengan Illahi diatur dalam institusi agama. Sedangkan agar keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya bisa bisa terjamin dan pasti diadakan institusi politik. Institusi-institusi ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Bagaimana kadar saling hubungan dan saling mempengaruhi, serta mana institusi yang paling berpengaruh harus dilihat langsung dalam masyarakat yang ada. Karl Marx umpamanya berpendapat, bahwa institusi ekonomislah yang merupakan landasan di mana institusi-institusi lain berdiri. Dengan kata lain semua institusi lainnya dipengaruhi dan ditentukan oleh institusi ekonomi. Tidak ada pengaruh timbal balik.
Perlu diingat, bahwa dalam setiap institusi juga ada nilai-nilai, norma-norma dan sanksi-sanksi, karena tujuan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi serta saling berhubungan satu sama lain, itulah yang disebut stuktur sosial. Kata stuktur menunjukkan saling adanya hubungan antara bagian keseluruhan. Maka dapat dikatakan stuktur sosial adalah interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya. Dengan kata lain struktur sosial adalah pengorganisasian masyarakat yang ada atau keseluruhan aturan permainan dalam berinteraksi.

KEADILAN PERSONAL, KEADILAN SOSIAL
Selanjutnya perlu juga dimengerti perpindahan antara keadilan personal dan keadilan sosial. Dalam keadilan personal sering mudah diketahui siapa yang bertanggungjawab. Si pembeli A membeli barang dengan kualitas tertentu, ternyata dia mendapat barang dengan kualitas rendah. Penjual barang tersebut jelas langsung bisa dimintai pertanggungjawabannya. Jelaslah mengenai keadilan personal, pelaksanaannya tergantung pada kehendak individu yang bersangkutan. Keadilan personal manuntut agar kita memperlakukan setiap orang yang kita hadapi dengan adil. Sebaliknya mengenai ketidak adilan sosial tanggung jawab atas perbuatan dan efek perbuatan menjadi tanggung jawab semua orang. Tidak bisa kita menunjuk satu orang untuk beranggung jawabsebagaimana pada ketidak adilan personal. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur masyarakat. Karena tergantungnya pad stuktir masyarakat maka tanggung jawab ketidak adilan sosial menjadi tanggung jawab semua pihak.Hal ini diperjelas dengan seringnya individu dalam masyarakat yang tidak bisa bersikap adil meski dia sudah insaf namun karena struktur sosiallah yang menbuat dia tidak bisa bersikap adil. Umpamanya seorang pengusaha tekstil tidak dapat menaikkan upah buruh-buruhnya karena perdagangan tekstil sedemikian rupa sehingga kalau dia menaikkan upah buruh-buruhnya perusahaan akan gulung tikar. Dengan kata lain institusi ekonomi yang ada menyebabkan upah buruh tetap rendah. Kalau pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur sosial yang ada, maka perjuangan demi keadilan sosial berarti perjuangan membangun struktur sosial yang semakin adil.

TUJUAN ANALISA SOSIAL
Analisa sosial adalah suatu usaha untuk mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi ekonomi, politik, agama, budaya dan keluarga sehingga kita tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak adilan sosial. Dengan mempelajari institusi-institusi itu, kita akan mampu melihat satu masalah sosial yang ada dalam konteknya yang lebih luas. Dan kalau kita berhasil melihat suatau masalah sosial yang henadak kita pecahkan dalam kontek yang lebih luas, maka kita pun juga dapat menentukan aksi yang lebih tepat yang diharapkan dapat menyembhkan sebab terdalam masalah tersebut. Demikian menjadi jelas, analisis sosial adalah suatu usaha nyata yang merupakan bagian penting usaha menegakkan keadilan sosial.

MODEL = KERANGKA BERPIKIR
Dalam menganalisis masyarakat, sadar atau tidak sadar orang biasanya mempunyai kerangka berpikir atau memandang. Kerangka berpikir atau memandang inilah yang disebut model. Demikian suatu model adalah asumsi atau gambaran umum mengenai masyarakat. Model ini mempengaruhi begaimana seseorang memilih objek studi dan cara mendekati objek studi tersebut. Sedang teori yang turunkan dari model berifat lebih terbatas dan persis. Suatu model hanya bisa dinilai lengkap, produktif atau berguna, sedang teori bisa salah atau benar.
Ada dua model yang sering melatar belakangi orang dalam mendekati masalah-masalah sosial, yaitu model konsensus dan model konflik.

MODEL KONSENSUS
Menurut model konsensus, stuktur sosial yang ada merupakan hasil konsensus bersama aanggot masyarakat, perjanjian dan pengakuan bersama akan nilai-nilai. Menurut model ini, setiap masyarakat pada hakikatnya teratur dan stabil. Keteraturan dan kestabilan ini disebabkan karena adanya kultur bersama yang dianut dan dihayati oleh anggota-anggota masyarakat. Kultur bersama ini meliputi nilai-nilai, norma dan tujuan yang hendak dicapai. Meskipun pada individu-individu ada kemungkinan-kemungkinan perbedaan dalam persepsi dan pengjhayatan kultur bersama itu, toh pada umumnya nilai-nilai sosial yang berdasar serta norma-norma ayang ada. Justru karena adanya konsensus bersama inilah,maka tata sosial dalam suatu masyarakat.
Model ini menilai masalah sosial sebagai penyimpangan dari nilai-nialai dan norma-norma bersama, karenanya juga masalah sosial dianggap membahayakan stabilitas sosial. Penyelesaian masalah sosial selalu diusahakan dalam kerangka tata sosial yang sudah ada. Dengan kata lain tata sosial tidak pernah dipersoalkan , bahkan kelangsungan stuktur sosial yang sudah ada dijunjung tinggi. Model Konsensus melatar belakangi dua ideologi yaitu konservatif dan liberal.



  1. Ideologi konservatif
Ideologi konservatif berakar pada kapitalisme dan liberalisme abad ke-19. Pasaran bebas dianggap oleh ideologi iini sebagai fundamen bagi kebebasan ekonomi dan politik. Pasar bebas dianggap akan menjamin adanya desentralisasi kekuatan politik. Kaum konservatif menjunjung tinggi sruktur sosial. Demi tegaknya struktur sosial tersebut menurut kaum konservatif otoritas dinilai sangat hakiki. Termasuk struktur sosial adalah stratifikasi sosial atau tingkat sosial. Adanya perbedaan tingkat sosial ini dikarenkan perbedaan tingkat individu dengan bakat-bakat yang berbeda. Setiap orang harus berkembang sesuai dengan bakat yang berbeda. Setuap orang harus berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaannya. Karenanya sudah sewajarnya kalau ada perbedaan dalam tingkat prestasi yang menuntut masyrakat untuk memberi imbalan dan balas jasa yang berbeda-beda, merupakan dasar adanya hak milik pribadi. Dengankata lain hak milik pribadi dianggap sebagai balas jasa atas jerih payah usaha tiap-tiap anggota masyarakat.

Kemiskinan Menurut Ideologi Konservatif
Pada umumya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri.Orang miskin dinilai umumnya bodoh,malas, tidak punya motivasi beerprestasi tinggi, tidak punya ketrampilan dan sebagainya yang merka bialang sebagai mental dan kultur penyebab kemiskinan. Menilai positif terhadap stuktur sosial yang ada. Dan menggap kemiskinan sebagai penyimpangan ketentuan yang ada dalam konsensus. Kaum konservatif tidak menggap kemiskinan bukan sebagai masalah serius dan kemiskinan akan bisa diselesaikan dengan sendirinya, maka tidak perlu adanya campur tangan pemerintah.



  1. Ideologi Liberal
Liberasi memandang manusia pertama-tama sebagai yang digerakan oleh motivasi kepentingan ekonomi pribadi, dan libaeralisme mempertahankan hak manusia untuk semaksimal mungkin cita-cita pribadinay. Liberasi percaya akan efektifitas pasar bebas dan hak atas milik pribadi. Hak-hak, kebebasan individu sangat ditekankan dan diperjuangkan demi untuk melindungi individu-individu terhadap kesewenangan negara.



Kemiskinan Menurut Ideologi Liberal
Berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan. Kemiskinan dapat diselesaikan bila tersedianya kesempatan yang seluas-luasnya tanpa diskriminasi. Kaum liberal percaya bahwa orang miskin dapat mengatasi kemiskinannya asal mereka mendapat kesempatan berusaha yang memadahi, maka diusulkan untuk diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan penyebarluasan pendidikan.

Kesimpulan
Baik konservatif maupun liberal mempertahankan struktur sosial yang telah ada, dan stuktur sosial ini ditandai dengan perbedaan tingkat sosial, sistem ekonomi kapitalis dan demokratis politik. Perbedaan dalam memandang kemiskinan, kalau kaum konservatif kemiskinan adalah kesalahan orang miskin itu sendiri dan kaum konservatif cenderung membiarkan sedang kaum liberal mengusahakan agar orang miskin mendapatkan kesempatan yang sama dan mampu menyesuaikan dalan struktur.

MODEL KONFLIK
Berbeda dengan model konsensus, model konflik ini memandang stuktur sosial yang ada sebagai hasil pemaksaan sekelompok kecil anggota masyarakat terhadap mayoritas warga masyarakat. Jadi struktur sosial bukan merupakan hasil konsensus seluruh warga apalagi persetujuan bersama mengenai nilai-nilai dan norma-norma. Stuktur sosial adalah dominasi sekelompok kecil dan kepatuhan serta ketundukan sebagaian besar warga masyarakat atas dominasi kelompok kecil tersebut. hukum dan undang-undang dalam masyarakat adalah ciptaan kelompok kecil, elit, dan kelompok yang memerintah untuk mempertahankan kepentingan mereka. Hukum dan undang-undang terutama ditujukan untuk melindungi milik-milik pribadi dan kepentingan.
Model ini memandang positif perubahan-perubahan yang memandang konflik sebagai sumber-sumber potensial bagi perubahan sosial yang progresif. Penganut model ini selalu mempertanyakan struktur sosial yang sudah ada. Mereka tidak mempersoalkan bagaimana orang miskin bisa hidup dan berprestasi dalam stuktur sosial yang sudah ada sebagaimana ditekankan kaum liberal, tetapi mereka mempersoalkan struktur sosial itu sendiri dan menganggapnya sebagai penyebab kemiskinan. Maka persoalan kultur dan mentalitas orang miskin tidak menarik perhatian penganut model konflik ini, sebab persoalan kultur orang miskin dianggapnya tidak mempersoalkan secara mendasar struktur dan kekuasaan politik yang sudah ada. Bahkan mereka menilai kultur dan mentalitas orang miskin yang digambarkan oleh kaum konservatuf itu disebabkan oleh struktur sosial itu sendiri yang tetap bertahan berpuluh atau ratusan tahun.
Kaum penganut model menggap struktur sebagai penyebab kemiskinan, untuk membuat analisis keadaan sosial pertanyaan yang mereka adalah:


  • Kelompok mana yangmendapat untung dari sistem masyarakat yang ada dan kelompok mana yang dirugikan ?


  • Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kompetisi dalam grup dan diantara grup yang ada ?


  • Faktor-faktor mana yang menentukan siapa pemenang dan siapa yang kalah ?

Penganut model ini, melihat masyarakat yang ada sebagai masyarakat massal, yang terdiri dari kelompok elit yang berada di atas massa rakyat banyak yang ada di lapisan bawah yang sama sekali tidak tidak terorganisir sehingga tidak memiliki kekuasaan yang efektif. Rakyat sebagai konsumen media dengan komunikasi dari satu arah tanpa mampu menanggapi dan rekasi berarti. Merka tidak menguasai mass media sehingga protes-protes yang mereka sampaikan tidak pernah mampu menyuarakan pendapat mereka. Dalam kepentingan ekonomi orang miskin didesain untuk dilanggengkan kemiskinannya oleh penguasa dan elit, sebab dengan kemiskinan masih ada kerja-kerja kotor yang bisa dikerjakan oleh orang miskin dengan biaya murah—tenaga.
Orang miskin juga dijadikan komoditi politik –kestabilan politik--oleh elit, karena orang miskin kebanyakan tidak tertarik pada bidang politik dan peluang ini digunakan sebagai pendukung suara dalam pemilu.
Orang-orang miskin dibutuhkan sebagai identifikasi pelanggaran-pelanggaran norma dan nilai, kriminal-kriminal yang ditangkap kebanyakan memang dari orang miskin namun sementara kriminal kerah putih (white collar crime) jauh dari penyelidikan apalagi pengadilan.

Jalan Keluar
Hal yng mengarah pada perubahan sosial sebagaimana digariskan menganut model konflik tadi, disini kita temukan garis moderat sampai pada garis yang benar-benar radikal. Garis moderat menghendaki demokrasi partisipatif baik dalam group-group sosial yang ada maupun dalam organisasi-organisasi sebagai tujuan yang harus dicapai oleh setiap masyarakat. Mereka tidak menganggap pentingnya kepemimpinan, sebaliknya mereka yakin bahwa semua orang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan-keputusan yang mempengharuhi hidup mereka. Mereka menentang segala bentuk birokrasi, pengaturan dari luar. Mereka menginginkan kontrol mahasiswa atas sekolahnya, rakyat atas polisi, buruh atas pabrik mereka. Sedang penganut garis radikal menganjurkan aksi-aksi menentang sistem sosial yang ada umpamanya ketidaktaatan rakyat akan segala aturan yang ada (civil diobedience), sebab mereka ini yakin bahwa tidak mungkin mengadakan perubahan-perubahan lewat saluran-saluran resmi/legal yang ada atau lewat pemilihan-pemilihan umum, saluran-saluran semacam ini mereka anggap tidak efektif.

EPILOG
Studi ini sebenarnya masih begitu terbatas, analisa sosial akan lebih dipahami ketika kita semua mau untuk mengamati segala sesuatu disekitar kita, kehidupan sosial hidup kita sehari-hari. Kemudian adakan sebuah analisis tentang ketidakadilan sosial yang ada didalamnya dan kita akan bisa menyusun action plan untuk menindaklanjuti sebagai aksi nyata untuk menyelamatkan eksploitasi, pembodohan dan penindasan rakyat kecil atau mungkin diri kita sendiri di lingkungan kita sendiri, mungkin juga di kampus dan organisasi ini ???

MERDEKAKAN DIRI ANDA DARI KETIDAKTAHUAN, KETIDAKMAMPUAN, DAN KETIDAKPEDULIAN TERHADAP KONDISI SOSIAL YANG TIMPANG DI DEPANMATA ANDA, KARNA ANDA TAK LEBIH DARI SEORANG PENINDAS KETIKA ANDA DIAM YANG SAMA ARTINYA IKUT MENIKMATI KETIDAKBERDAYAAN MEREKA YANG PAPA”


Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamith Thorieq

DEMOKRASI KAPITALISME


Runtuhnya Sosialisme-Komunisme, Awal Kejayaan Kapitalisme Global


  • Resesi dunia (malaise) pasca perang dunia I, banyak negara-negara imperialisme-kapitalisme mengalami kebangkrutan akibat membiayai perang.


  • Konsolidasi kapitalisme, di bidang ekonomi; restrukturisasi sektor moneter dan sektor riil, bidang sosial; proses social engiinering (teori sturkturalisme-fungsional Talcott Parsons) yang diberlakukan di negara-negara jajahan.


  • Munculnya blok-blok imperialisme baru, imperialis-komunis (Soviet), imperialis-kapitalis (AS-Inggris), imperialis-rasis (Jerman), imperialis-totaliter (Jepang).


  • Polarisasi negara-negara imperialis dalam 2 blok besar. Imperialis komunis dan imperialis-kapitalis mendirikan blok sekutu/Allies (AS, Uni Soviet, Inggris dll), berhadapan dengan gabungan imperialis-rasis dan imperialis-fasis yang bernama blok Axis (Jerman, Jepang, Itali dan Spanyol).


  • Pecah Perang Dunia (PD) II antara blok Allies dengan blok Axis.


  • Konsolidasi kapitalisme tahap II, Imperialis-kapitalis bertemu di Bretton Woods membentuk World Bank dan IBRD (mulai beroperasi 1946) fungsinya memberi pinjaman kepada negara-negara baru merdeka atau hancur akibat PD II agar melakukan pembangunan menurut model kapitalisme.


  • Pendirian IMF (1947) berfungsi memberi pinjaman untuk negara-negara yang kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dengan memasukkan disiplin financial tertentu. Kemudian mendirikan GATT (1947) berfungsi mengatur dan memajukan perdagangan dunia agar seirama dengan kepentingan kapitalis.


  • Marshall plan dijalankan di Eropa.


  • Pendirian PBB dan declaration of Human Rights (1945), sementara itu blok komunis membentuk pakta kerjasama ekonomi COMECON.


  • Penjajahan fisik berakhir digantikan model penjajahan ekonomi dan politik. Lembaga-lembaga politik internasional dari blok kapitalis maupun komunis memperluas pengaruh. Perang pengaruh ini dikenal dengan era cold war antara blok timur yang komunis (dikomandoi Soviet) dengan blok barat yang kapitalis (dikomandoi AS).


  • 1948 Presiden AS, truman, menetapkan ideologi developmentalisme sebagai strategi membendung komunisme. Developmentalisme ini menandai era baru lahirnya kapitalisme-modernisme.


  • Terjadi pergeseran geo-politik terutama di Eropa dan kapitalisme berubah menjadi sosial demokrat (kasus Jerman), lahir konsep Welfare State dengan sistem ekonomi socialmarkt wirstchaft (pasar yang masih mengakomodasi etika sosial).


  • Munculnya dan berkembangnya jaringan ekonomi global, perusahaan-perusahaan besar meluaskan jaringannya ke negara berkembang, yang dikenal dengan istilah MNC (Multinational Corporation) dan TNC (Transnational Corporation) dan berpusat di negara kapitalis.


  • 1989 berakhirnya perang dingin dengan runtuhnya Uni Sovyet. Relasi antara Amerika dengan negara-negara Dunia Ketiga berubah menjadi sebatas kepentingan pasar. Muncul istilah National Corporation (bangsa perusahaan), dan State of Market (negara pasar).


  • Munculnya neoliberalisme sebagai tata dunia ekonomi politik baru yang tertuang dalam kesepakatan yang dikenal dengan The Neoliberal Washington Konsensus yang intinya adalah reformasi ekonomi dengan kebijakan pasar bebas.


  • GATT merubah bentuk menjadi WTO (World Trade Organisation) pada tanggal 5 April 1994 di Marrakesh, Maroko, sebagai hasil dari putaran perundingan Uruguay, munculnya lembaga ini karena akselerasi yang cepat dari perubahan struktural bagi pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, WTO merupakan hasil dari perjuangan para penganut pasar bebas yang ingin lepas dari kontrol negara.


  • Tanggal 1 Januari 1995 semua anggota wajib secara bertahap membuka pasarnya dan menetapkan jadual komitmennya (schedule of commitment) sampai pasarnya seluruhnya terbuka bagi perusahaan-perusahaan asing.


  • Putaran Perundingan GATT. 1) Konferensi GATT tahun 1947 dengan topik perundingan perumusan perjanjian GATT dan perundingan yang mencakup 45.000 item tarif dengan nilai $ 10 Milyar, diikuti oleh 23 negara. 2) Prundingan Annecy tahun 1949 topik pembicaraan mencakup 5000 item tarif diikuti oleh 33 negara. 3) Perundingan Torquay tahun 1950-51 topik pembicaraan 5500 item tarif diikuti oleh 34 negara. 4) Perundingan Jenewa tahun 1955-56 dengan topik pembicaraan perundingan tarif mencakup nilai dagang $ 2,5 Milyar dan diikuti oleh 22 negara. 5) Dillon Round tahun 1960-61 dengan topik 4400 item tarif dan nilai dagang $ 4,9 Milyar yang diikuti oleh 45 negara. 6) Kennedy Round tahun 1964-67 topik perundingan tarif nilai $ 40 Milyar serta perundingan anti-dumping yang diikuti oleh 48 negara. 7) Tokyo Round tahun 1973-79 topik mengenai tarif dan non-tarif dengan nilai $ 155 Milyar diikuti oleh 99 negara. 8) Uruguay Round dari bulan September 1986 sampai bulan April 1994 dan diadakan beberapa kali perundingan yang menghasilkan perluasan akses, penyempurnaan aturan (rules) GATT, penyempurnaan kelembagaan GATT, dan masalah-masalah baru.


  • Kolonialisme baru muncul dengan melalui aneksasi, eksploitasi, dan penaklukan. Bentuk baru dari neokolonial merupakan penjajahan melalui ilmu ilmu pengetahuan yang diciptakan barat dengan demikian lebih simbolik.


  • Pada sektor kultural, neokolonial (globalisasi) cenderung menghasilkan diaspora kultural. Komunitas yang memiliki selera, kebiasaan dan keyakinan juga sering dipisahkan dari batasan bangsa. Diaspora kultural memiliki ciri standarisasi budaya seperti dalam gaya pakaian, musik, film atau bahkan agama.


  • Munculnya ikon-ikon baru Amerika seperti terorisme sebagai strategi melawan penentangnya