Tujuan PMII

Tujuan PMII
Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Sabtu, 25 September 2010

Presiden Pilihan Sejarah?





Majalah Time dalam edisi The Most Important People in the Century tahun 1998 menulis bahwa ”sejarah politik abad ke-20 dapat ditulis sebagai otobiografi enam orang: Lenin, Stalin, Hitler, Mao Zedong, Franklin Roosevelt, dan Winston Churchill”.

Di persimpangan jalan sejarah yang krusial, nasib bangsa-bangsa sering terkait sangat erat dengan orang-orang tertentu. Individu-individu ini seolah dipilih oleh sejarah untuk mengemban suatu misi besar. Keputusan moral dan pilihan politik mereka untuk menjawab tantangan sejarah ini menentukan dan mengubah nasib bangsanya untuk selama-lamanya.

Afrika Selatan dan Mandela adalah contoh yang baik untuk era akhir abad ke-20. Runtuhnya rezim apartheid melontarkan Mandela ke tampuk pimpinan Afrika Selatan dan langsung menghadapkannya pada pilihan pelik, yakni mengikuti semangat membalas dendam atas ketidakmanusiawian rezim masa lalu terhadap warga kulit hitam atau rekonsiliasi yang sangat tidak populer. Mandela memilih rekonsiliasi.

Afrika Selatan yang dikhawatirkan akan banjir darah menyusul runtuhnya rezim kulit putih justru langsung masuk jalur cepat demokrasi dan martabatnya melambung dalam pergaulan antarbangsa sebagai negara beradab. Bahkan, tahun depan Afrika Selatan sudah mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia. Contoh lain dengan skala dan kerumitan pilihan moral dan keputusan politik yang berbeda kita temukan sepanjang sejarah. Para pemimpin besar seperti Mandela sepenuhnya sadar bahwa, meminjam kalimat mantan Presiden Perancis Charles de Gaulle: to govern is to choose among disadvantages; minus malum; memilih di antara pilihan-pilihan yang sulit; memilih yang paling kurang buruk.

Sejarah memilih mereka untuk mengemban misi besar dan mereka menjawabnya dengan keputusan moral yang benar dan pilihan politik yang tepat dan, kadang, berani. Keberhasilan mereka membuat nama mereka selalu dikenang oleh bangsanya dan terukir dalam sejarah dunia. Mereka bukan lagi sekadar presiden, tetapi juga pemimpin besar.

Indonesia hari ini berada di persimpangan jalan sejarah yang sangat penting. Arah pertama akan membawa kita kembali ke republik masa lalu, sementara arah kedua mengantar kita kepada Indonesia masa depan; yang pertama jalan memutar kembali ke praktik sosial-politik yang korup dan yang kedua adalah jalan lurus menuju politik yang bersih serta tata kelola pemerintahan yang efisien dan akuntabel; jalan pertama menuju stagnasi sosial-politik dan keterpurukan, jalan kedua menuju Indonesia yang adil dan sejahtera serta bermartabat dalam pergaulan bangsa-bangsa.

Walaupun jalan mana yang seharusnya ditempuh tampak jelas, sama sekali tidak berarti mudah untuk menempuhnya. Realitas sosial-politik Indonesia hari ini berada di antara tarik-menarik antara kekuatan reformasi dan kekuatan reformasi tandingan. Adam Michnik, tokoh intelektual gerakan Solidarnosc (Solidarity) Polandia, membedakan antara kontrareformasi dan reformasi tandingan. Mereka yang kontrareformasi jelas-jelas anti atau menentang reformasi.

Tak banyak di Indonesia hari ini yang mendeklarasikan diri antireformasi. Mereka telah melakukan metamorfosis menjadi reformis, atau persisnya reformis tandingan. Reformis tandingan berkepentingan terhadap berlakunya business as usual. Mereka menggunakan bahasa reformasi, prosedur hukum, dan legislasi yang ada untuk memastikan bahwa kepentingan ekonomi, sosial, dan politik mereka tetap terjamin. Mereka ada di mana-mana dan dengan sangat aktif memengaruhi proses politik, legislasi, dan birokrasi.

Tarik ulur dalam masalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanya satu contoh dari berbagai reformasi tandingan yang sedang berlangsung di negeri ini. Oleh karena itulah memilih jalan lurus reformasi akan berbenturan dengan mereka dan mengandung risiko-risiko politik, hukum, dan birokrasi yang nyata.

Saatnya memilih bagi SBY

Apakah SBY telah dipilih oleh sejarah untuk mengemban misi besar menuntaskan reformasi dan selamanya meletakkan Indonesia pada jalur kesejahteraan dan kemajuan? Pertanyaan ini tak bisa dijawab apriori terhadap apa yang akan dilakukannya. Namun, SBY berada dalam posisi yang unik yang tidak pernah dimiliki oleh presiden Indonesia lainnya: terpilih dalam pemilu presiden langsung dengan suara mayoritas yang sangat signifikan, dukungan legislatif yang besar, terutama melalui dominasi Partai Demokrat di DPR, dan termin kedua sebagai presiden yang membuatnya tidak perlu memikirkan ”basa-basi” politik agar terpilih kembali.

Tidak berlebihan bila dikatakan nasib Indonesia dan SBY pada saat ini berpilin sangat erat. Keputusan moral dan pilihan politik SBY akan menentukan perjalanan sejarah Indonesia. Reformasi politik, hukum, dan birokrasi yang tuntas menjadi syarat bagi Indonesia masa depan. Ini adalah tantangan sejarah.

Rakyat Indonesia dengan harap-harap cemas menunggu SBY untuk menjawab tantangan ini dengan keputusan moral dan pilihan politik yang tepat. Keputusan dan pilihan ini menentukan seberapa cepat Indonesia menuju ke masa depan yang adil, sejahtera, dan bermartabat.

Pada gilirannya pilihan ini juga akan menentukan warisan apa yang akan ditinggalkan SBY: apakah sekadar menjadi presiden biasa saja ataukah seorang pemimpin besar yang akan dikenang sepanjang masa oleh bangsanya dan dunia.

Abdul Malik Gismar Anggota Staf Kemitraan untuk Pembaruan Tatakelola Pemerintahan
Kompas, Sabtu, 10 Oktober 2009 | 02:52 WIB

Masihkah NU Menjadi Jangkar?




Oleh Rumadi
Di sini mulai muncul paradoks; di satu sisi NU (setidaknya) di tingkat pusat selalu menegaskan komitmen kebangsaannya, di sisi lain NU juga membiarkan para kadernya melakukan aktivitas yang bisa mencederai paham kebangsaan yang dijunjung tinggi NU. Hal ini dapat dilihat sebagai titik balik semangat kebangsaan NU.

TAK ada yang menyangkal bahwa Nahdlatul Ulama (NU) merupakan aset bangsa yang tak ternilai harganya. Pandangan-pandangan keagamaannya menjadi jangkar yang dapat mengokohkan berdirinya bangsa ini. Karena itu, tak berlebihan jika NU dalam sejarahnya yang panjang mampu memerankan diri sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan yang kokoh. Kekokohan visi kebangsaa itu mencapai puncaknya pada tahun 1984 ketika NU menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila sebagai dasarnya adalah bentuk final. Ini sungguh kemajuan yang luar biasa, apalagi pandangan ini dirumuskan melalui perspektif fikih yang sebenarnya lebih dekat pada perjuangan negara Islam.

Kekokohan visi kebangsaan itu kembali ditegaskan pada 1992 ketika NU melakukan apel kesetiaan pada Pancasila. Bahkan dalam sebuah wawancara, KH. Abdurrahman Wahid yang waktu itu menjabat Ketua Umum Tanfidziyah PB NU menyatakan: “Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila dengan jiwa raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam” (Douglas E Ramage: 1994). Karena itu, komitmen kebangsaan NU yang paling utama adalah menjadikan Indonesia sebagai “rumah bersama” tanpa ada diskriminasi. Seluruh anggota keluarga berada dalam posisi yang setara dan berkeadilan. Dalam konteks ini, NU bisa dikatakan sebagai satu-satunya organisasi keagamaan dengan visi kebangsaan yang clear, jelas, dan tegas.

Saya sengaja mengangkat kembali masalah ini dalam pembicaraan tentang NU, karena belakangan NU mendapat kritik setidaknya dalam dua hal. Pertama, menyangkut paham kebangsaan, kedua, menyangkut resistensinya terhadap paham keagamaan yang dianggap “liberal”. Poros dari dua masalah tersebut adalah semakin mendekatnya NU dengan agenda gerakan Islam radikal.

Harus diakui, belakangan paham kebangsaan kita mengalami erosi yang mengkhawatirkan. Bangkitnya semangat etno-nasionalisme yang dipadu semangat Islamisme di berbagai daerah, sungguh merupakan erosi paham kebangsaan yang membahayakan. Tidak sedikit aktivis dan tokoh NU lokal yang menjadi pelopor paham Islamisme tersebut dengan mendorong pembuatan Peraturan Daerah (Perda) berbau-bau syariat. Tidak sedikit pula tokoh lokal NU yang terlibat dalam gerakan Islam radikal. Di sini mulai muncul paradoks; di satu sisi NU (setidaknya) di tingkat pusat selalu menegaskan komitmen kebangsaannya, di sisi lain NU juga membiarkan para kadernya melakukan aktivitas yang bisa mencederai paham kebangsaan yang dijunjung tinggi NU.

Hal ini dapat dilihat sebagai titik balik semangat kebangsaan NU. Kekokohan visi kebangsaan NU tampaknya hanya berada pada lapisan elit yang sangat tipis. Bukan hanya di tingkat wilayah, pada tingkat nasional pun ada kesan yang sama: NU semakin larut dalam agenda gerakan Islam radikal. Di tingkat pusat, keterpesonaan NU pada gerakan simbolisme Islam memang belum jelas betul meski lamat-lamat mulai nampak. Namun di tingkat daerah, hal ini jelas sekali kelihatan, terutama menyangkut agenda Perda bernuansa syariat.

Melihat fenomena tersebut, pelan tapi pasti, ada kesan keterlibatan NU, setidaknya di tingkat lokal, dalam gerakan mendominasi “rumah bersama” bernama Indonesia. Gerakan itu belakangan makin menguat seiring makin unjuk giginya kelompok Islam radikal-konsevatif. Anggota keluarga yang lain, meski tidak diusir, merasa tidak lagi nyaman tinggal di rumah itu. Tentu kita tidak ingin anggota keluarga itu minggat dan menimbulkan permusuhan satu atas yang lain. Pembiaran atas situasi demikian ibarat menyimpan bom waktu yang dapat meledak pada saat tertentu.

Ketika dikritik bahwa pendulum NU makin ke “kanan”, Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi, dengan enteng mejawab: “Belakangan muncul anggapan bahwa NU bergeser ke kanan, gara-gara RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Itu tidak benar. Bukan NU yang bergeser ke kanan. Itu karena NU terlalu lama nongkrong di kiri. Jadi ketika ditengahkan serasa bergeser ke kanan.” (www.nu.or.id). Ini sungguh retorika sangat canggih. Namun benarkah di situ letak masalahnya?

Menurut saya, masalahnya bukan NU berada di kiri atau di kanan, tapi bagaimana mampu menjaga segala kemungkinan yang mengancam keutuhan “rumah bersama”. Jangkar kebangsaan NU memang belum tercabut, namun saya melihat ada kekuatan yang coba menggoyang jangkar itu. NU seharusnya tetap setia menjaga Indonesia sebagai “rumah bersama”. Di sinilah jangkar NU harus ditancapkan kuat-kuat.

Masalah kedua adalah soal resistensi NU atas pemikiran keagamaan yang dianggap liberal. Dalam sebuah diskusi, saya pernah ditanya, apakah anak-anak muda NU yang mengusung pemikiran “liberal” masih bisa disebut sebagai bagian dari NU? Pertanyaan ini terkait dengan sejauhmana kelenturan ideologi Aswaja NU dalam menerima berbagai arus pemikiran. Banyak kalangan menganggap pikiran-pikiran yang dikembangkan sejumlah anak muda NU sudah keluar dari rel Aswaja. Karena itu, mereka sulit dikatakan sebagai bagian dari gerakan pemikiran NU.

Untuk menjawab masalah ini, pertama-tama harus dijawab, apa sebenarnya yang menentukan identitas ke-NU-an itu? Menurut saya, identitas ke-NU-an pertama-tama ditentukan oleh kultur, bukan aliran pemikiran yang distrukturkan. Hal ini bisa ditelusuri dari awal sejarah berdirinya NU. Sebelum didirikan pada 1926, NU pada awalnya adalah jamâ’ah, yaitu sekumpulan orang dan komunitas yang memiliki dan menjalankan kultur keagamaan tertentu. Baru kemudian kultur tersebut distrukturkan menjadi jam’iyyah, organisasi. Proses strukturisasi bukan hanya menyangkut penataan kelembagaan, tapi juga membingkai praktik-praktik kultural tersebut dalam rumusan-rumusan paham keagamaan. Hal itu berarti, identitas kultur dan perasaan menjadi bagian dari NU merupakan hal terdalam dari identitas ke-NU-an itu sendiri.

Proses strukturisasi kultural demikian, selalu membawa dampak ganda. Di satu sisi akan terjadi proses penguatan karena organ kultural yang berserakan bisa diorganisir menjadi sosok kuat, sehingga kultur akan tetap bertahan. Namun di sisi lain, bisa juga terjadi ketegangan karena struktur sering kali merasa berkuasa untuk mengatur kultur. Rumusan-rumusan paham keagamaan dalam struktur juga sering dianggap sebagai rumusan yang final dan selesai. Akibatnya, rumusan paham keagamaan itu digunakan untuk mengukur apakah seseorang masih dalam bingkai paham keagamaan yang diakui atau tidak.

Menstrukturkan paham keagamaan melalui lembaga menjadikan NU sulit untuk melakukan akselerasi. Doktrin juga menjadi kurang lentur dalam menghadapi perubahan. Akibatnya, NU bisa berubah menjadi baju yang sempit jika pengendali NU punya wawasan keagamaan yang “sempit”. Belakangan proses “penyempitan” itu begitu terasa, terutama ketika NU diperhadapkan dengan derasnya arus informasi ilmu pengetahuan yang memaksanya untuk meninjau ulang sejumlah doktrin keagamaannya.

Sampai di sini, saya ingin menegaskan, NU perlu menancapkan kembali jangkarnya, baik sebagai pengawal paham kebangsaan maupun pengembang wawasan keagamaan yang progresif-tranformatif. Baju ideologi NU, Aswaja, harus menjadi kekuatan dan inspirasi membangun semangat kebangsaan yang kokoh. Tanpa itu, bukan tidak mungkin NU tidak lagi menjadi jangkar bangsa.***

Penulis adalah peneliti The WAHID Institute, dan staf pengajar Fak. Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Jumat, 24 September 2010

Profil PMII

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).

Sejarah
Latar belakang pembentukan PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
  1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
  2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
  3. Pisahnya NU dari Masyumi.
  4. Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU.
  5. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Organisasi-organisasi pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa, KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
  1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
  2. M. Said Budairy (Jakarta)
  3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
  4. Makmun Syukri (Bandung)
  5. Hilman (Bandung)
  6. Ismail Makki (Yogyakarta)
  7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
  8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
  9. Laily Mansyur (Surakarta)
  10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
  11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
  12. M. Kholid Narbuko (Malang)
  13. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.

Deklarasi PMII
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah.

Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.


Makna Filosofis
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”, “Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya. “Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis, insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman, islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka, progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka, menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila) serta UUD 45.